Search

APPBI Bedah Pentahelix-nya Kota Malang - Jawa Pos Radar Malang

Model pentahelix dalam membangun kota yang selama ini kerap disampaikan Wali Kota Malang Drs H. Sutiaji dibahas secara detail dalam diskusi rutin yang digelar Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Malang Raya, Selasa lalu (13/8).

Apa (what) pentahelix itu? Mengapa (why) harus menggunakan pentahelix? Dan bagaimana (how) pentahelix dapat diandalkan sebagai sebuah model dalam memajukan pembangunan sebuah daerah?  Pertanyaan-pertanyaan inilah yang dijlentrehkan oleh pakar kebijakan publik dari Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Brawijaya (UB) Oscar Radyan Danar SAP MAP PhD pada diskusi yang dihelat di Rumah Makan 52 Kota Malang itu.

”Konsep pentahelix itu merupakan turunan dari paradigma governance.  Intinya, pelibatan berbagai aktor atau kelompok masyarakat dalam menjalankan sebuah pemerintahan,” kata Oscar yang merupakan doktor di bidang kebijakan publik dari Tohoku University, Jepang.

Lebih lanjut Oscar menjelaskan, bahwa ada lima aktor dalam pentahelix. Disingkat ABCGM. Yakni Akademik, Businessman (pengusaha), Community (komunitas), Government (pemerintah), dan Media.  ”Forum diskusi seperti ini, sebenarnya sudah bisa disebut sebagai model sinergi pentahelix. Karena di forum ini ada perwakilan dari pemerintah, media, akademisi, pengusaha, dan komunitas,” lanjut Oscar.

Pada diskusi rutin itu memang hadir perwakilan dari Pemkot Malang, yakni dari Badan Pelayanan Pajak Daerah (BP2D) Kota Malang. Dari media hadir Kurniawan Muhammad, Direktur Jawa Pos Radar Malang yang juga sebagai pengarah diskusi.

Selain pentahelix, turunan lain dari model governance adalah collaborative governance. ”Ini sebenarnya sama dengan pentahelix. Hanya, dalam collaborative governance, kuncinya adalah desain institusionalnya harus kuat. Ketika sebuah program di mana desain institusionalnya tidak kuat, maka keberlangsungannya menjadi terancam,” paparnya.

Oscar lantas mengambil contoh Kampung Warna-warni di Jodipan. Kebetulan dia saat ini sedang meneliti tentang Kampung Warna-warni di Jodipan. Dari pengamatannya, munculnya Kampung Warna-warni awalnya adalah inisiasi dari kalangan akademisi (mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Malang) yang berkolaborasi dengan pengusaha.

Pada tataran inisiasi, kolaborasi yang terjadi hanya dari kalangan akademisi (A) dan pengusaha (B). Selanjutnya, baru pemerintah (G) melibatkan diri belakangan. ”Catatan saya, model kolaborasi di Kampung Warna-warni ini harus diimbangi dengan adanya desain institusional yang kuat. Sejauh yang saya amati, desain institusionalnya belum kuat. Ini akan membuat keberlangsungan dari Kampung Warna-warni bisa terancam,” paparnya.

Ketika berbicara tentang desain institusional, maka menurut Oscar, kata kuncinya adalah pelibatan institusi. Dan keterlibatan serta pengaruh antar institusi harus benar-benar mewarnai. ”Ini baru bisa disebut kuat,” tandasnya.

Di sela-sela memberikan penjelasan, beberapa peserta diskusi bertanya kepada Oscar. Misalnya, Ketua APPBI Malang Raya Suwanto menanyakan tentang support dari pemkot terkait dengan beberapa kegiatan yang dilakukan APPBI.

”Dari pengalaman kami bikin event, peran pemkot sering kali tidak bisa maksimal men-support dengan alasan karena terbentur SOP dan regulasi. Bagaimana jika seperti ini?,” tanya Suwanto yang juga General Manager di Lippo Plaza Batu ini.

Peserta diskusi lain juga tak mau kalah bertanya seputar pengalaman mereka berurusan atau bersinergi dengan pemerintah. Satu per satu pertanyaan, dijelaskan Oscar secara jelas dan gayeng.

Pada kesempatan itu, hadir hampir semua pengurus dan anggota APPBI Malang Raya. Di antaranya, Ny Laurencia Ike Anggriani (Malang Plaza), Mohammad Andariansyah (Cyber Mall), Ny Laura Irene Titahelu (Malang City Point), Frans Wicaksono (Plaza Araya), Febi Damayanti (Sarinah), dan Agustinus Tri (General Manager MX Transmart Malang).

Copy Editor : Amalia Safitri
Penyunting : Mahmudan

Let's block ads! (Why?)

Model pentahelix dalam membangun kota yang selama ini kerap disampaikan Wali Kota Malang Drs H. Sutiaji dibahas secara detail dalam diskusi rutin yang digelar Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Malang Raya, Selasa lalu (13/8).

Apa (what) pentahelix itu? Mengapa (why) harus menggunakan pentahelix? Dan bagaimana (how) pentahelix dapat diandalkan sebagai sebuah model dalam memajukan pembangunan sebuah daerah?  Pertanyaan-pertanyaan inilah yang dijlentrehkan oleh pakar kebijakan publik dari Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Brawijaya (UB) Oscar Radyan Danar SAP MAP PhD pada diskusi yang dihelat di Rumah Makan 52 Kota Malang itu.

”Konsep pentahelix itu merupakan turunan dari paradigma governance.  Intinya, pelibatan berbagai aktor atau kelompok masyarakat dalam menjalankan sebuah pemerintahan,” kata Oscar yang merupakan doktor di bidang kebijakan publik dari Tohoku University, Jepang.

Lebih lanjut Oscar menjelaskan, bahwa ada lima aktor dalam pentahelix. Disingkat ABCGM. Yakni Akademik, Businessman (pengusaha), Community (komunitas), Government (pemerintah), dan Media.  ”Forum diskusi seperti ini, sebenarnya sudah bisa disebut sebagai model sinergi pentahelix. Karena di forum ini ada perwakilan dari pemerintah, media, akademisi, pengusaha, dan komunitas,” lanjut Oscar.

Pada diskusi rutin itu memang hadir perwakilan dari Pemkot Malang, yakni dari Badan Pelayanan Pajak Daerah (BP2D) Kota Malang. Dari media hadir Kurniawan Muhammad, Direktur Jawa Pos Radar Malang yang juga sebagai pengarah diskusi.

Selain pentahelix, turunan lain dari model governance adalah collaborative governance. ”Ini sebenarnya sama dengan pentahelix. Hanya, dalam collaborative governance, kuncinya adalah desain institusionalnya harus kuat. Ketika sebuah program di mana desain institusionalnya tidak kuat, maka keberlangsungannya menjadi terancam,” paparnya.

Oscar lantas mengambil contoh Kampung Warna-warni di Jodipan. Kebetulan dia saat ini sedang meneliti tentang Kampung Warna-warni di Jodipan. Dari pengamatannya, munculnya Kampung Warna-warni awalnya adalah inisiasi dari kalangan akademisi (mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Malang) yang berkolaborasi dengan pengusaha.

Pada tataran inisiasi, kolaborasi yang terjadi hanya dari kalangan akademisi (A) dan pengusaha (B). Selanjutnya, baru pemerintah (G) melibatkan diri belakangan. ”Catatan saya, model kolaborasi di Kampung Warna-warni ini harus diimbangi dengan adanya desain institusional yang kuat. Sejauh yang saya amati, desain institusionalnya belum kuat. Ini akan membuat keberlangsungan dari Kampung Warna-warni bisa terancam,” paparnya.

Ketika berbicara tentang desain institusional, maka menurut Oscar, kata kuncinya adalah pelibatan institusi. Dan keterlibatan serta pengaruh antar institusi harus benar-benar mewarnai. ”Ini baru bisa disebut kuat,” tandasnya.

Di sela-sela memberikan penjelasan, beberapa peserta diskusi bertanya kepada Oscar. Misalnya, Ketua APPBI Malang Raya Suwanto menanyakan tentang support dari pemkot terkait dengan beberapa kegiatan yang dilakukan APPBI.

”Dari pengalaman kami bikin event, peran pemkot sering kali tidak bisa maksimal men-support dengan alasan karena terbentur SOP dan regulasi. Bagaimana jika seperti ini?,” tanya Suwanto yang juga General Manager di Lippo Plaza Batu ini.

Peserta diskusi lain juga tak mau kalah bertanya seputar pengalaman mereka berurusan atau bersinergi dengan pemerintah. Satu per satu pertanyaan, dijelaskan Oscar secara jelas dan gayeng.

Pada kesempatan itu, hadir hampir semua pengurus dan anggota APPBI Malang Raya. Di antaranya, Ny Laurencia Ike Anggriani (Malang Plaza), Mohammad Andariansyah (Cyber Mall), Ny Laura Irene Titahelu (Malang City Point), Frans Wicaksono (Plaza Araya), Febi Damayanti (Sarinah), dan Agustinus Tri (General Manager MX Transmart Malang).

Copy Editor : Amalia Safitri
Penyunting : Mahmudan

Let's block ads! (Why?)



Bagikan Berita Ini

0 Response to "APPBI Bedah Pentahelix-nya Kota Malang - Jawa Pos Radar Malang"

Post a Comment

Powered by Blogger.