"Huru-hara itu ya meteor yang jatuh di Bulan Ramadan. Jadi jemaah harus menyiapkan diri sebelumnya, karena itu menjadi 10 tanda besar terjadinya kiamat," kata M Romli di Ponpes, Dusun Pulosari, Desa Sukosari, Kecamatan Kasembon, Kabupaten Malang, Kamis (14/3/2019).
Gabah dan beras harus disiapkan oleh jemaah ketika pertanda kiamat itu benar-benar terjadi. Logistik itu memang disampaikan Romli ketika jemaah akan hadir mengikuti program ibadah triwulan yang dimulai Rajab sampai Ramadan mendatang.
Menurut Romli, setiap jemaah membutuhkan 500 kg gabah atau 300 kg beras sebagai bekal selama satu tahun pasca meteor jatuh. Jika tidak ada meteor, maka gabah dan beras kembali dibawa pulang jemaah ke kampung halaman masing-masing.
"Bisa dilihat itu gabah dan berasnya ditumpuk, saya tidak pernah meminta, mereka yang bawa sendiri. Kalau meteor tidak jatuh, akan dibawa pulang," imbuhnya.
Romli juga membantah untuk mewajibkan jemaah membeli pedang serta foto dirinya. Apalagi dengan harga yang relatif tinggi. Pengurus pondok memang menjual foto dirinya sebagai mursyid atau guru Thoriqoh Akmaliyah As-sholihiyah yang diikuti ratusan jemaah. Termasuk puluhan warga Ponorogo itu.
"Foto dijual Rp 200 ribu, bukan Rp 1 juta. Saya tidak minta membeli pedang. Dan apalagi anak memotong dan memakan tangan adiknya, itu semua tidak benar," tegasnya.
Sebelumnya dikabarkan bahwa puluhan warga Dusun Krajan, Desa Watubonang, Kecamatan Badegan, Ponorogo berpindah ke Malang untuk tinggal di Ponpes Miftahul Fallahil Mubtadin. Kepindahan mereka dikaitkan dengan doktrin kiamat dan huru-hara yang datang di Bulan Ramadan nanti. Terkait huru-hara, warga diminta membeli pedang Rp 1 juta.
(sun/bdh)
"Huru-hara itu ya meteor yang jatuh di Bulan Ramadan. Jadi jemaah harus menyiapkan diri sebelumnya, karena itu menjadi 10 tanda besar terjadinya kiamat," kata M Romli di Ponpes, Dusun Pulosari, Desa Sukosari, Kecamatan Kasembon, Kabupaten Malang, Kamis (14/3/2019).
Gabah dan beras harus disiapkan oleh jemaah ketika pertanda kiamat itu benar-benar terjadi. Logistik itu memang disampaikan Romli ketika jemaah akan hadir mengikuti program ibadah triwulan yang dimulai Rajab sampai Ramadan mendatang.
Menurut Romli, setiap jemaah membutuhkan 500 kg gabah atau 300 kg beras sebagai bekal selama satu tahun pasca meteor jatuh. Jika tidak ada meteor, maka gabah dan beras kembali dibawa pulang jemaah ke kampung halaman masing-masing.
"Bisa dilihat itu gabah dan berasnya ditumpuk, saya tidak pernah meminta, mereka yang bawa sendiri. Kalau meteor tidak jatuh, akan dibawa pulang," imbuhnya.
Romli juga membantah untuk mewajibkan jemaah membeli pedang serta foto dirinya. Apalagi dengan harga yang relatif tinggi. Pengurus pondok memang menjual foto dirinya sebagai mursyid atau guru Thoriqoh Akmaliyah As-sholihiyah yang diikuti ratusan jemaah. Termasuk puluhan warga Ponorogo itu.
"Foto dijual Rp 200 ribu, bukan Rp 1 juta. Saya tidak minta membeli pedang. Dan apalagi anak memotong dan memakan tangan adiknya, itu semua tidak benar," tegasnya.
Sebelumnya dikabarkan bahwa puluhan warga Dusun Krajan, Desa Watubonang, Kecamatan Badegan, Ponorogo berpindah ke Malang untuk tinggal di Ponpes Miftahul Fallahil Mubtadin. Kepindahan mereka dikaitkan dengan doktrin kiamat dan huru-hara yang datang di Bulan Ramadan nanti. Terkait huru-hara, warga diminta membeli pedang Rp 1 juta.
(sun/bdh)
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Pengasuh Ponpes di Malang Jelaskan Soal Meteor yang Jatuh Saat Ramadan - detikNews"
Post a Comment