Merdeka.com - Cuaca kota Malang mendung disertai hujan gerimis tiada henti sejak dini hari. Namun tidak menyurutkan Dwi Hariyadi (47) menjalankan tugasnya sebagai tukang sampah di Lingkungan RW 14 Kelurahan Madyopuro, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang.
BERITA TERKAIT
Hari itu, Dwi mengaku sedikit kesiangan lantaran semalam begadang di acara selamatan 100 hari di rumah salah satu saudaranya. Tetapi tugasnya mengambil sampah ke rumah-rumah warga tetap harus dijalankan.
Sahari saja tugasnya ditunda, sampah akan menumpuk dan membuatnya bekerja dua kali lipat lebih berat di hari berikutnya. Karenanya, tanpa penyebab yang bersifat darurat, Dwi tidak akan meninggalkan tugasnya sebagai petugas sampah di 300 Kepala Keluarga (KK) di lingkungannya.
"Saya tak ambil gerobak dulu di Balai RW pakai sepeda motor, dekat sini saja kok," kata Dwi Hariyadi kepada merdeka.com di rumahnya, Jalan Danau Rawa Pening H5F-7 RT 02 RW 14 Kelurahan Madyopura, Kota Malang.
Selain sebagai petugas sampah, Dwi Hariyadi adalah seorang calon legislatif (Caleg) DPRD Kota Malang. Ia maju dari Partai Keadilan Sejahtera ( PKS) dan mendapatkan nomor urut 9 di Daerah Pemilihan (Dapil) Kedungkandang, Kota Malang.
Dwi sendiri mengaku maju sebagai caleg bukan dari jalur kader PKS, tetapi kebetulan mengenal pengurus partai tersebut. Ia sendiri tidak pernah tahu alasan dipilih dan diterima menjadi salah satu caleg partai nomor urut 8 itu.
Jauh sebelum musim penjaringan, Dwi mengaku sudah ditawari tetapi selalu ditolaknya. Saat itu banyak pertimbangan yang membuatnya enggan ikut dalam kontestasi.
"Jangan saya lah, kondisinya kan seperti ini. Caleg kan membutuhkan dana ratusan juta, dengarnya Rp 150 juta saja itu nggak ada apa-apanya. Jangankan segitu, Rp 5 juta saja ke mana saya carinya. Beberapa kali saya menolaknya," kisahnya.
Dwi juga berpikiran tentang calon pemilihnya kalau benar-benar maju sebagai caleg. Walaupun banyak dikenal luas di masyarakat, tetapi belum tentu menjadi pemilihnya.
"Percuma saja, siapa yang akan memilih saya nanti," katanya.
Dwi sendiri selain sebagai tukang sampah yang menjadi pekerjaan sehari-harinya, juga menjadi komandan peleton (Danton) Hansip di Kelurahan. Tugas Dwi salah satunya juga mengantarkan surat-surat kelurahan, sehingga hampir seluruh warga mengenalkannya.
Pria kelahiran Paiton, Probolinggo, 6 Januari 1973 itu awalnya juga berpikir bahwa jabatan politik sebagai anggota DPRD sangat berat. Selain itu juga sebagai 'jabatan kotor' dengan bukti 41 anggota DPRD Kota Malang ditangkap karena mengambil uang rakyat atau korupsi.
"DPR itu kan kotor, kerjanya gitu-gitu," tegasnya.
Hingga pendaftaran pencalegkan oleh KPU ditutup, Dwi positif tidak mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif (Caleg). Tetapi kemudian ditawari kembali, lantaran satu caleg tidak melengkapi persyaratan. Ganjalan Dwi tentang biaya dan praktik-praktik kotor di DPRD disampaikan kepada PKS selaku pengusungnya.
"Pertama dana, katanya nggak usah dipikirkan. DPR kan kotor, kira-kira bisa nggak bersih awal sampai akhir jabatan. Katanya, ya memang itu yang diinginkan dan diharapkan partai. Kalau begitu bisa, saya siap," ceritanya.
"Asalkan bersih jalannya, saya juga dananya seperti ini. Cuma mempunyai keinginan saja. Ingin menunjukkan pada masyarakat bukan seperti itu. Saya akan buktikan kalau dipercaya, akan betul-betul mengabdi. Itu muncul dari hati saya," urainya.
Dwi pernah kuliah jurusan Pendidikan Bahasa Inggris dari sebuah universitas swasta di kota Malang dan sempat menjadi guru bahasa Inggris di SMA Wisnuwardana. Ia juga pernah menjadi guru di SD Madyopuro 5 selama 3 tahun.
"Sekarang saya juga mengajar di SD Saptorenggo 3 dari tahun 2001 sampai sekarang," katanya.
Dwi lulus SMA tahun 1990 dan sempat mengadu nasib ke Jakarta, sebelum kemudian ke Malang. Ia menjadi tukang sampah sejak kuliah semester 2, tahun 1996. Awalnya seperti mahasiswa biasa, kuliah sambil mondok.
Tetapi sampai semester 2 kehabisan biaya, antara pulang atau melanjutkan kuliah. Pernah ikut kerja dengan teman jualan kerajinan.
"Suatu ketika ditawari narik sampah tahun 1996 oleh RT di sini yang kebetulan dosen. Bayarannya Rp 50 ribu, saya pun mau hingga sekarang," katanya. [lia]
Merdeka.com - Cuaca kota Malang mendung disertai hujan gerimis tiada henti sejak dini hari. Namun tidak menyurutkan Dwi Hariyadi (47) menjalankan tugasnya sebagai tukang sampah di Lingkungan RW 14 Kelurahan Madyopuro, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang.
BERITA TERKAIT
Hari itu, Dwi mengaku sedikit kesiangan lantaran semalam begadang di acara selamatan 100 hari di rumah salah satu saudaranya. Tetapi tugasnya mengambil sampah ke rumah-rumah warga tetap harus dijalankan.
Sahari saja tugasnya ditunda, sampah akan menumpuk dan membuatnya bekerja dua kali lipat lebih berat di hari berikutnya. Karenanya, tanpa penyebab yang bersifat darurat, Dwi tidak akan meninggalkan tugasnya sebagai petugas sampah di 300 Kepala Keluarga (KK) di lingkungannya.
"Saya tak ambil gerobak dulu di Balai RW pakai sepeda motor, dekat sini saja kok," kata Dwi Hariyadi kepada merdeka.com di rumahnya, Jalan Danau Rawa Pening H5F-7 RT 02 RW 14 Kelurahan Madyopura, Kota Malang.
Selain sebagai petugas sampah, Dwi Hariyadi adalah seorang calon legislatif (Caleg) DPRD Kota Malang. Ia maju dari Partai Keadilan Sejahtera ( PKS) dan mendapatkan nomor urut 9 di Daerah Pemilihan (Dapil) Kedungkandang, Kota Malang.
Dwi sendiri mengaku maju sebagai caleg bukan dari jalur kader PKS, tetapi kebetulan mengenal pengurus partai tersebut. Ia sendiri tidak pernah tahu alasan dipilih dan diterima menjadi salah satu caleg partai nomor urut 8 itu.
Jauh sebelum musim penjaringan, Dwi mengaku sudah ditawari tetapi selalu ditolaknya. Saat itu banyak pertimbangan yang membuatnya enggan ikut dalam kontestasi.
"Jangan saya lah, kondisinya kan seperti ini. Caleg kan membutuhkan dana ratusan juta, dengarnya Rp 150 juta saja itu nggak ada apa-apanya. Jangankan segitu, Rp 5 juta saja ke mana saya carinya. Beberapa kali saya menolaknya," kisahnya.
Dwi juga berpikiran tentang calon pemilihnya kalau benar-benar maju sebagai caleg. Walaupun banyak dikenal luas di masyarakat, tetapi belum tentu menjadi pemilihnya.
"Percuma saja, siapa yang akan memilih saya nanti," katanya.
Dwi sendiri selain sebagai tukang sampah yang menjadi pekerjaan sehari-harinya, juga menjadi komandan peleton (Danton) Hansip di Kelurahan. Tugas Dwi salah satunya juga mengantarkan surat-surat kelurahan, sehingga hampir seluruh warga mengenalkannya.
Pria kelahiran Paiton, Probolinggo, 6 Januari 1973 itu awalnya juga berpikir bahwa jabatan politik sebagai anggota DPRD sangat berat. Selain itu juga sebagai 'jabatan kotor' dengan bukti 41 anggota DPRD Kota Malang ditangkap karena mengambil uang rakyat atau korupsi.
"DPR itu kan kotor, kerjanya gitu-gitu," tegasnya.
Hingga pendaftaran pencalegkan oleh KPU ditutup, Dwi positif tidak mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif (Caleg). Tetapi kemudian ditawari kembali, lantaran satu caleg tidak melengkapi persyaratan. Ganjalan Dwi tentang biaya dan praktik-praktik kotor di DPRD disampaikan kepada PKS selaku pengusungnya.
"Pertama dana, katanya nggak usah dipikirkan. DPR kan kotor, kira-kira bisa nggak bersih awal sampai akhir jabatan. Katanya, ya memang itu yang diinginkan dan diharapkan partai. Kalau begitu bisa, saya siap," ceritanya.
"Asalkan bersih jalannya, saya juga dananya seperti ini. Cuma mempunyai keinginan saja. Ingin menunjukkan pada masyarakat bukan seperti itu. Saya akan buktikan kalau dipercaya, akan betul-betul mengabdi. Itu muncul dari hati saya," urainya.
Dwi pernah kuliah jurusan Pendidikan Bahasa Inggris dari sebuah universitas swasta di kota Malang dan sempat menjadi guru bahasa Inggris di SMA Wisnuwardana. Ia juga pernah menjadi guru di SD Madyopuro 5 selama 3 tahun.
"Sekarang saya juga mengajar di SD Saptorenggo 3 dari tahun 2001 sampai sekarang," katanya.
Dwi lulus SMA tahun 1990 dan sempat mengadu nasib ke Jakarta, sebelum kemudian ke Malang. Ia menjadi tukang sampah sejak kuliah semester 2, tahun 1996. Awalnya seperti mahasiswa biasa, kuliah sambil mondok.
Tetapi sampai semester 2 kehabisan biaya, antara pulang atau melanjutkan kuliah. Pernah ikut kerja dengan teman jualan kerajinan.
"Suatu ketika ditawari narik sampah tahun 1996 oleh RT di sini yang kebetulan dosen. Bayarannya Rp 50 ribu, saya pun mau hingga sekarang," katanya. [lia]
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Sempat Menolak, Tukang Sampah di Malang Maju Caleg PKS Demi Perbaiki Citra DPRD | merdeka.com - merdeka.com"
Post a Comment