MALANG, KOMPAS.com – Udara dingin membakap Kota Malang, Sabtu (20/10/2018). Kami menyusuri Kota Malang menuju Jalan Sidomakmur, No 86, Letak Sari, Mulyoagung, Dau, Kota Malang.
Dari lintas jalan menuju Kota Batu itu tak begitu jelas terlihat Kafe Oksigen dan Workshop, tempat kami ingin bersantai malam. Hanya temaram lampu kuning keemasan membalut sebuah bangunan dengan kosep terbuka. Nyaris tanpa dinding.
Dari jalan menuju bangunan itu sekitar 50 meter. Kiri-kanan jalan terlihat tanaman petani lokal daerah itu, seperti padi yang baru berusia sekitar dua pekan, dan tanaman jagung di sisi lainnya.
Baca juga: Menginap di Jantung Kota Malang, Hotel Tugu nan Ikonik
Suara musik mengalun di sekitar bangunan, keyboard dengan lagu-lagu Via Valen, hingga Ari Lasso dinyanyikan secara bergantian oleh pengunjung kafe. Perangkat band lengkap seperti gitar dan drum juga berada di sana.
“Silakan duduk, akhirnya sampai juga,” kata pemilik kafe, Bambang Sugiyanto ramah.
Istrinya, Lintang setia duduk di pinggir keyboard,menyemangati pengunjung yang sedang bernyanyi.
“Minum kopi Vietnam Drip?” tanya penulis puisi itu.
Kami mengangguk dan dua cangkir kopi plus bakpao ukuran kecil tersaji di meda. Ya, kafe itu menjadi salah satu tempat paling nyaman buat nongkrong bagi generasi milineal di kota dengan slogan Malang Kucecwara itu.
Baca juga: Loe Min Toe, Kafe Tema Peranakan Murah Meriah di Malang
Malam hari, kerlap-kerlip lampu Kota Batu terlihat jelas dari tempat itu. Sekeliling kafe terdapat aneka tumbuhan petani. Praktis udara sejuk menyusup tulang.
Bagi anda yang tak terbiasa udara sejuk, baiknya mengenakan jaket ke kafe itu. “Ini baru dibuka dua bulan. Setelah saya putuskan balik kampung, ya inilah usaha saat ini,” kata Bambang yang lama menetap di Jakarta, dan Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Lokasi itu awalnya sawah milik seorang petani lokal, Misdi. Lalu, satu hari Bambang bertemu Misdi dan menawarkan kerja sama dalam bentuk sewa. Misdi setuju dengan sewa selama sepuluh tahun. Maka, sejak dua bulan lalu pula Bambang merombaknya menjadi kafe dan workshop. Luasnya sekitar 20 x 60 meter.
Malam itu terlihat remaja, umumnya mahasiswa berkumpul di sana. Sebagian malah terlihat menghidupkan laptop untuk mengerjakan tugas kuliah.
Mereka berasal dari Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Islam Malang, dan Universitas Malang.
“Pengujung lain juga terbuka datang kemari. Saya ingin membuat tempat ini nyaman, bisa digunakan untuk semuanya, bisa diskusi, bermusik, bedah buku, baca puisi dan lainnya. Saya ajak semua penggemar seni dan sastra hayuk nongkrong di sini,” kata Bambang.
Sejak dulu, pria ini memimpikan memiliki tempat dengan area di tengah sawah. Dan kali ini dia telah menemukannya.
“Kalau datang sore hari ini indah sekali, sejuk sekali, melihat petani, burung-burung dan lainnya sembari menikmati kopi, atau makanan lainnya,” kkata Bambang.
Ucapan Bambang tak berlebihan, Memang nyaman bersantai di kafe yang dibuka sejak pukul 15.00 WIB hingga tutup tengah malam itu.
Dalam jangka panjang, Bambang ingin membuka kafe itu 24 jam. Saat ini, dia tengah membenahi memperbanyak menu, menyiapkan nasi goreng, mie dan makanan “berat” lainnya. Dengan enam pekerja, kafe itu siap menyambut pengunjung saban waktu.
Dan, dingin terus menusuk tulang. Kami pun pulang, dengan sejuta kenangan, akan berkunjung lagi di tempat yang santai, sembari melihat bulan, kerdipan lampu dan udara nan sejuk di Kota Malang.
MALANG, KOMPAS.com – Udara dingin membakap Kota Malang, Sabtu (20/10/2018). Kami menyusuri Kota Malang menuju Jalan Sidomakmur, No 86, Letak Sari, Mulyoagung, Dau, Kota Malang.
Dari lintas jalan menuju Kota Batu itu tak begitu jelas terlihat Kafe Oksigen dan Workshop, tempat kami ingin bersantai malam. Hanya temaram lampu kuning keemasan membalut sebuah bangunan dengan kosep terbuka. Nyaris tanpa dinding.
Dari jalan menuju bangunan itu sekitar 50 meter. Kiri-kanan jalan terlihat tanaman petani lokal daerah itu, seperti padi yang baru berusia sekitar dua pekan, dan tanaman jagung di sisi lainnya.
Baca juga: Menginap di Jantung Kota Malang, Hotel Tugu nan Ikonik
Suara musik mengalun di sekitar bangunan, keyboard dengan lagu-lagu Via Valen, hingga Ari Lasso dinyanyikan secara bergantian oleh pengunjung kafe. Perangkat band lengkap seperti gitar dan drum juga berada di sana.
“Silakan duduk, akhirnya sampai juga,” kata pemilik kafe, Bambang Sugiyanto ramah.
Istrinya, Lintang setia duduk di pinggir keyboard,menyemangati pengunjung yang sedang bernyanyi.
“Minum kopi Vietnam Drip?” tanya penulis puisi itu.
Kami mengangguk dan dua cangkir kopi plus bakpao ukuran kecil tersaji di meda. Ya, kafe itu menjadi salah satu tempat paling nyaman buat nongkrong bagi generasi milineal di kota dengan slogan Malang Kucecwara itu.
Baca juga: Loe Min Toe, Kafe Tema Peranakan Murah Meriah di Malang
Malam hari, kerlap-kerlip lampu Kota Batu terlihat jelas dari tempat itu. Sekeliling kafe terdapat aneka tumbuhan petani. Praktis udara sejuk menyusup tulang.
Bagi anda yang tak terbiasa udara sejuk, baiknya mengenakan jaket ke kafe itu. “Ini baru dibuka dua bulan. Setelah saya putuskan balik kampung, ya inilah usaha saat ini,” kata Bambang yang lama menetap di Jakarta, dan Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Lokasi itu awalnya sawah milik seorang petani lokal, Misdi. Lalu, satu hari Bambang bertemu Misdi dan menawarkan kerja sama dalam bentuk sewa. Misdi setuju dengan sewa selama sepuluh tahun. Maka, sejak dua bulan lalu pula Bambang merombaknya menjadi kafe dan workshop. Luasnya sekitar 20 x 60 meter.
Malam itu terlihat remaja, umumnya mahasiswa berkumpul di sana. Sebagian malah terlihat menghidupkan laptop untuk mengerjakan tugas kuliah.
Mereka berasal dari Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Islam Malang, dan Universitas Malang.
“Pengujung lain juga terbuka datang kemari. Saya ingin membuat tempat ini nyaman, bisa digunakan untuk semuanya, bisa diskusi, bermusik, bedah buku, baca puisi dan lainnya. Saya ajak semua penggemar seni dan sastra hayuk nongkrong di sini,” kata Bambang.
Sejak dulu, pria ini memimpikan memiliki tempat dengan area di tengah sawah. Dan kali ini dia telah menemukannya.
“Kalau datang sore hari ini indah sekali, sejuk sekali, melihat petani, burung-burung dan lainnya sembari menikmati kopi, atau makanan lainnya,” kkata Bambang.
Ucapan Bambang tak berlebihan, Memang nyaman bersantai di kafe yang dibuka sejak pukul 15.00 WIB hingga tutup tengah malam itu.
Dalam jangka panjang, Bambang ingin membuka kafe itu 24 jam. Saat ini, dia tengah membenahi memperbanyak menu, menyiapkan nasi goreng, mie dan makanan “berat” lainnya. Dengan enam pekerja, kafe itu siap menyambut pengunjung saban waktu.
Dan, dingin terus menusuk tulang. Kami pun pulang, dengan sejuta kenangan, akan berkunjung lagi di tempat yang santai, sembari melihat bulan, kerdipan lampu dan udara nan sejuk di Kota Malang.
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Bersantai di Tengah Sawah Kota Malang"
Post a Comment