Search

Dawai Ada di Malang Sejak Abad 14


MALANG – Kegiatan bertajuk “Telusur Sejarah Waditra Dawai” digelar Komunitas Jelajah Jejak Malang, kemarin. Tujuan digelarnya kegiatan ini, untuk menelusuri jejak sejarah berkembangnya dawai di Malang Raya. Selain itu, kegiatan tersebut juga sebagai persiapan dalam rangka digelarnya Festival Dawai Nusantara (FDN) pada 28 Juli 2018.
Para pemateri dalam Telusur Sejarah Waditra Dawai di antaranya Sejarawan M. Dwi Cahyono, Seniman Ki Soleh dan Penggagas FDN Redy Eko Prasetyo. Dalam telusur itu, diikuti oleh para pecinta sejarah di Malang Raya. Kegiatan telusur dimulai dari Candi Jago di Tumpang. Di tempat itu, Dwi Cahyono menjelaskan tentang Relief Waditra.
Di Candi Jago terdapat relief yang menceritakan tentang Kunjarakarna sebagai fakta bahwa ragam dawai Witra sudah ada di Malang sejak abad 14 Masehi. Hal inilah yang dipaparkan secara gamblang oleh Dwi Cahyono. Menggunakan pengeras suara megaphone, dosen sejarah Universitas Negeri Malang tersebut menjelaskan relief itu kepada para peserta.
Dari tempat itu, kemudian Telusur Sejarah Waditra Dawai berlanjut ke padepokan Seni Mangun Dharma di Desa Tulusbesar, Tumpang. Di padepokan tersebut diadakan dialog tentang musik yang menggunakan dawai. Dalam diskusi itu, diketahui bahwa penggunaan dawai termasuk dalam ansambel gamelan.
Sedangkan tempat terakhir yang ditelusuri dalam kesempatan itu, berada di Desa Jatikerto, Kecamatan Kromengan. Di tempat tersebut, terdapat pengukiran gitar elektrik yang merupakan bentuk dawai pada era modern seperti sekarang. Koordinator Jejak Jelajah Malang Restoe Respati mengatakan ini penting untuk mengetahui sejarah dawai di Malang.
“Hasil telusur yang telah kami lakukan, bahwa alat musik berupa dawai sudah ada zaman kerajaan, tepatnya pada abad ke 14 masehi. Hal ini seperti tergambar dalam relief di Candi Jago,” ujar Restoe Respati kepada Malang Post. 
Dia menjelaskan, dengan melakukan telusur semacam ini, diketahui fakta yang jelas tentang sejarah dawai.
“Termasuk mengunjungi Bengkel Gitar di Kromengan, yang merupakan bentuk dawai pada era modern seperti sekarang. Kalau zaman dahulu disebut dawai, namun sekarang merupakan gitar,” terangnya. 
Menurutnya, melalui kegiatan semacam ini memberikan wawasan yang jelas kepada para peserta dan pecinta sejarah tentang sejarah dawai. Kegiatan ini kata dia, sekaligus juga dalam rangka meningkatkan kecintaan sejarah kepada masyarakat utamanya pada pemuda. 
“Seperti diketahui, Malang Raya memiliki peninggalan sejarang banyak yang banyak dan tersebar di beberapa wilayah. Seluruh lapisan masyarakat harus mengetahui bahwa potensi peninggalan sejarah ini,” katanya.
Selain itu kata Restoe, kegiatan ini sekaligus dalam rangkan permulaan untuk menyelenggarakan FDN 2018. “Rencananya FDN 2018 akan digelar di Simpang Balapan Kota Malang pada 28 Juli 2018 mendatang,” pungkasnya.(big/ary)

Let's block ads! (Why?)


MALANG – Kegiatan bertajuk “Telusur Sejarah Waditra Dawai” digelar Komunitas Jelajah Jejak Malang, kemarin. Tujuan digelarnya kegiatan ini, untuk menelusuri jejak sejarah berkembangnya dawai di Malang Raya. Selain itu, kegiatan tersebut juga sebagai persiapan dalam rangka digelarnya Festival Dawai Nusantara (FDN) pada 28 Juli 2018.
Para pemateri dalam Telusur Sejarah Waditra Dawai di antaranya Sejarawan M. Dwi Cahyono, Seniman Ki Soleh dan Penggagas FDN Redy Eko Prasetyo. Dalam telusur itu, diikuti oleh para pecinta sejarah di Malang Raya. Kegiatan telusur dimulai dari Candi Jago di Tumpang. Di tempat itu, Dwi Cahyono menjelaskan tentang Relief Waditra.
Di Candi Jago terdapat relief yang menceritakan tentang Kunjarakarna sebagai fakta bahwa ragam dawai Witra sudah ada di Malang sejak abad 14 Masehi. Hal inilah yang dipaparkan secara gamblang oleh Dwi Cahyono. Menggunakan pengeras suara megaphone, dosen sejarah Universitas Negeri Malang tersebut menjelaskan relief itu kepada para peserta.
Dari tempat itu, kemudian Telusur Sejarah Waditra Dawai berlanjut ke padepokan Seni Mangun Dharma di Desa Tulusbesar, Tumpang. Di padepokan tersebut diadakan dialog tentang musik yang menggunakan dawai. Dalam diskusi itu, diketahui bahwa penggunaan dawai termasuk dalam ansambel gamelan.
Sedangkan tempat terakhir yang ditelusuri dalam kesempatan itu, berada di Desa Jatikerto, Kecamatan Kromengan. Di tempat tersebut, terdapat pengukiran gitar elektrik yang merupakan bentuk dawai pada era modern seperti sekarang. Koordinator Jejak Jelajah Malang Restoe Respati mengatakan ini penting untuk mengetahui sejarah dawai di Malang.
“Hasil telusur yang telah kami lakukan, bahwa alat musik berupa dawai sudah ada zaman kerajaan, tepatnya pada abad ke 14 masehi. Hal ini seperti tergambar dalam relief di Candi Jago,” ujar Restoe Respati kepada Malang Post. 
Dia menjelaskan, dengan melakukan telusur semacam ini, diketahui fakta yang jelas tentang sejarah dawai.
“Termasuk mengunjungi Bengkel Gitar di Kromengan, yang merupakan bentuk dawai pada era modern seperti sekarang. Kalau zaman dahulu disebut dawai, namun sekarang merupakan gitar,” terangnya. 
Menurutnya, melalui kegiatan semacam ini memberikan wawasan yang jelas kepada para peserta dan pecinta sejarah tentang sejarah dawai. Kegiatan ini kata dia, sekaligus juga dalam rangka meningkatkan kecintaan sejarah kepada masyarakat utamanya pada pemuda. 
“Seperti diketahui, Malang Raya memiliki peninggalan sejarang banyak yang banyak dan tersebar di beberapa wilayah. Seluruh lapisan masyarakat harus mengetahui bahwa potensi peninggalan sejarah ini,” katanya.
Selain itu kata Restoe, kegiatan ini sekaligus dalam rangkan permulaan untuk menyelenggarakan FDN 2018. “Rencananya FDN 2018 akan digelar di Simpang Balapan Kota Malang pada 28 Juli 2018 mendatang,” pungkasnya.(big/ary)

Let's block ads! (Why?)



Bagikan Berita Ini

0 Response to "Dawai Ada di Malang Sejak Abad 14"

Post a Comment

Powered by Blogger.